Akhii, kutuliskan risalah ini bagimu. Bukan karena apa. Kau adalah  saudaraku, Akhii fillah. Karena Allah Ta’ala, bukan Akhii fii nasab yang  mengharamkan pernikahan dan menghalalkan hubungan mahram.1
Akhii, sesungguhnya hati manusia ada di antara jari-jemari Ar Rahman. Maka beruntunglah orang yang dihadapkan hatinya pada ketaatan pada Allah Ta’ala. Sungguh benarlah doa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam panjatkan, “Allahumma musharrifal quluub, sharrif quluubanaa ‘alaa tha’atika” (Ya Allah, Dzat Yang Memalingkan Hati, palingkan hati kami di atas ketaatan pada-Mu)2
Akhii, sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan lemah3. Manusia, ya Akhii. Tak terkecuali. Laki-laki maupun wanita.
Tahukah kau wahai Akhii, panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  Wasallam telah mengingatkan kita dalam sabdanya yang artinya, “Aku tidak  meninggalkan fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki daripada  fitnah wanita.”4
Dan agama kita yang mulia juga telah mengajarkan adab-adab bergaul  dengan lawan jenis yaa, Akhii. Bila kita tapaki perjalanan salaful  ummah, kita akan temukan betapa mereka menjaga adab-adab tersebut.
Maka tidak layak bagi kita untuk bermudah-mudah dalam bergaul dengan  lawan jenis. Janganlah bermain-main dengan kehormatan, yaa Akhii. Allah  Ta’ala selalu mengawasi kita di manapun dan kapanpun. Apatah itu dalam  kamar tertutup rapat, ketika kau sedang asik ber-SMS dengan wanita yang  bukan mahrammu tanpa keperluan yang mendesak. Sama sekali bukan untuk  hal yang membawa mashlahat, hanya untuk mengatakan,
“Ap kbr, Ukhti? Lg sbk ap skrng?”
“Smgt ^_^”
“Ttp senyum nggih ”
Atau untuk sekadar mengirimkan nasehat. Entah itu terjemah Al Qur’an,  potongan hadits, atau perkataan ulama. Apa maksud yang ada dalam  hatimu, yaa Akhii? Banyak teman-teman ikhwan yang lebih berhak kau beri  perhatian dan nasehat. Na’am, murni perhatian dan nasehat, tanpa  tendensi apapun.
‘Afwan ‘Akhii, bukannya kami terlalu sombong untuk menerima nasehat  darimu. Akan tetapi, bagi kami, cukup teman-teman shalihah tempat untuk  berbagi rasa. Cukup bagi kami, para asatidz dan asatidzah5 yang  mendakwahi kami. Cukuplah majelis-majelis ilmu dan buku-buku dari para  ulama tempat kami mencari tahu tentang agama.
Tahukah yaa Akhii, terkadang syaithan menghiasi keburukan sehingga  menjadi tampak indah. Bahkan terkadang syaithan membuka sembilan puluh  sembilan pintu kebaikan untuk menjerumuskan manusia kepada satu pintu  keburukan.6
Akhii, Ibnu Taimiyah pernah berkata yang artinya, “Kesabaran Yusuf  menghadapi rayuan istri tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau  saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan  saat berpisah dengan bapaknya. Sebab hal-hal ini terjadi di luar  kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali sabar  menerima musibah. Tapi kesabaran yang memang beliau kehendaki dan  diupayakannya saat menghadapi rayuan istri tuannya, kesabaran memerangi  nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang  sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau  yang masih bujang dan muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh  rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan  orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu.  Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli  seperti halnya orang merdeka.
Keadaan istri tuannya yang cantik,  terpandang dan tehormat, tanpa ada seorang pun yang melihat tindakannya  dan dia pula yang menghendaki untuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada  ancaman, seandainya tidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam  penjara dan dihinakan. Sekalipun begitu beliau tetap sabar dan lebih  mementingkan apa yang ada di sisi Allah.”7
Yaa Akhii, tidakkah kau ingin meneladani Yusuf ‘Alaihis Salam?  Seorang pemuda yang menjaga iffah-nya yang dijanjikan mendapatkan  perlindungan Allah Ta’ala di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada  lagi naungan selain naungan-Nya.8
Yaa Akhii, mungkin kau sudah pernah mendengar sebuah hadits dari  Nawas Ibni Sam’an radiyyallahu anhu yang artinya, “Aku bertanya kepada  Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan  kejahatan. Beliau bersabda: “Kebaikan ialah akhlak yang baik dan  kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka  bila orang lain mengetahuinya.”9
Yaa Akhii, kebahagiaan sejati tidak akan diperoleh dengan cara yang  haram. Percayalah itu. Cara ini hanya akan menimbulkan kesusahan dan  kerusakan pada diri serta terbuangnya harta dengan sia-sia. Barangsiapa  meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya  dengan yang lebih baik darinya.10
Terakhir yaa Akhii, saya akan nukilkan perkataan Salman Al Farisi  radiyyallahu ‘anhu dari Ja’far bin Burqan yang artinya, “Ada tiga orang  yang membuatku menangis dan tiga orang lagi membuatku tertawa. Aku  tertawa melihat orang mengejar dunia sedangkan kematian telah  mengintainya, orang berbuat lalai berbuat padahal dirinya tak pernah  dilupakan, dan orang banyak tertawa, sedangkan ia tidak tahu apakah  Allah murka ataukah ridha kepadanya. Dan aku menangis karena kepergian  orang-orang yang dicintai, yaitu kepergian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi  wa Sallam dan pengikutnya, kedahsyatan yang sangat mengerikan saat  berada di pintu kematian, dan saat berdiri di hadapan Rabb semesta alam,  yaitu ketika aku tidak mengetahui apakah aku akan dikembalikan ke surga  atau ke neraka.”11
Kuharap risalah ini memperberat timbangan amal kebaikanku kelak. Pada  hari di mana harta dan anak takkan berguna kecuali orang yang menghadap  Allah Ta’ala dengan hati yang selamat.12
Wallahul musta’an.
1. Mahram adalah orang-orang yang haram dinikahi, bisa karena nasab,  persusuan, atau pernikahan. Di Indonesia, istilah ini rancu dengan  muhrim. Padahal istilah yang tepat adalah mahram, karena muhrim berarti  orang yang sedang berihram (-pen).
2. HR Muslim no. 2654 dari Shahabat ‘Abdullah bin’Amr bin Al Ash Radiyallahu ‘Anhuma
3. Lihat QS An Nisaa: 28
4. HR. Al-Bukhari dalam An-Nikah (5096), Muslim dalam Adz-Dzikr (2740)
5. Jamak dari ustadz dan ustadzah (-pen)
6. Perkataan Hasan bin Shalih rahimahullah
7. Perkataan ini dinukil oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah dalam Madarijus Salikin
8. Lihat HR Bukhari no 660, Muslim 1031 dari Abu Hurairah radiyyallahu  anhu, yang artinya, “Tujuh golongan yang kelak akan dilindungi oleh  Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali  naungan-Nya: imam yang adil, pemuda yang tumbuh dengan beribadah kepada  Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan  masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu  dalam keadaan demikian dan berpisah pun dalam keadaan demikian pula,  laki-laki yang diajak (berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan  kecantikan, namun ia mengatakan: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’,  seseorang yang bersedekah namun ia menyembunyikan sedekahnya, hingga  tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya,  dan seseorang yang mengingat Allah dalam kesendiriannya, hingga kedua  matanya bercucuran air mata.”
9. HR Muslim, dimuat dalam Bulughul Maram, Kitabul Jami’ bab adab
10. Terjemah HR Ahmad V/78,79
11. Atsar ini tercantum dalam kitab Rauhuz Zaahidiin yang merupakan ringkasan dari kitab Hilyatul Auliyaa’
12. Lihat QS Asy Syu’aara’: 88-89
Sedikit koreksi:
Perkataan Al-Hasan bin Shalih yang dinukil di atas secara makna  mungkin sudah bisa dipahami, namun yang lebih tepat adalah yang sesuai  teks Aslinya (dinukil Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul  Ashfiya’, jilid V, hal 331), sebagai berikut:
إن الشيطان ليفتح للعبد تسعة و تسعين بابا من الخير يريد به بابا من السوء
artinya:
“Sesunggunya setan benar-benar akan membukakan 99 pintu kebaikan bagi seorang hamba, untuk tujuan membuka satu pintu keburukan”
Sumber: http://arnida.blog.ugm.ac.id/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar