Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
Pusing! itulah yang ada di kepala Ida (bukan nama sebenarnya).   Sepertinya ‘tuntutan hidup’ mengharuskan dia bekerja, yang itu berarti   dia harus bercampur baur dengan para pria. Ya Allah, kuatkanlah imannya   dan berikan sifat istiqomah dalam menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aamiin.
 Sebuah tuntutan dari orang yang telah  membiayai pendidikan (kuliah),  baik itu orang tua, kakak, paman, bibi,  atau yang lainnya adalah sebuah  kewajaran ketika mereka merasa bahwa  ‘tugas’ mereka menyekolahkan  seorang anak telah selesai. Lalu, apakah  setiap tuntutan itu harus  dipenuhi? Lalu kemudian teringat sebuah  hadits dari Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang  maknanya adalah sebuah kebaikan dibalas  dengan kebaikan yang serupa,  dan bila tidak mampu maka dengan  mendoakannya (HR. Baihaqi). Berbagai  pikiran mungkin berkecamuk di  benak, “Entah  telah berapa puluh  juta yang mereka telah keluarkan untuk membiayai  kuliahku, tapi entah  berapa yang bisa kubalas, atau entah apakah  sebanding yang kudapat  sekarang dengan yang mereka korbankan.” Di  samping tuntutan dari  orang-orang di belakang layar selama proses  menempuh perkuliahan, masih  pula dikejar-kejar oleh kebutuhan hidup  yang perlu dipenuhi. Dan  biaya-biaya tak terduga yang pada intinya akan  mengurangi ‘bekal’ yang  masih tersisa. Seakan-akan semua keadaan itu  berteriak bersama-sama, “Kerja!  kerja! kerja!”, “Cari yang bergaji  wah!”, “Pendekkan saja jilbabmu,  tidak apa-apa, biar cepat mendapatkan  kerja!”, “Lepas cadarmu, tidak  ada yang mau menerima wanita seperti  dirimu”, “Jangan cuma kerja yang  begitu!” Dan bisikan-bisikan  hawa nafsu yang setiap orang pasti  memilikinya, dan tidaklah hawa nafsu  itu melainkan mengajak pada  keburukan.
Saudariku, kuatkan imanmu!
Dimana pelajaran tauhid yang selama ini telah engkau pelajari? Dan   kemanakah perginya konsekuensi dari pengenalan nama dan sifat Allah   Ta’ala yang telah engkau ketahui? Engkau mengetahui bahwa Allah Maha   Kuasa dan Maha Kaya. Engkau telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah   mengatur seluruhnya dan tertulis dalam kitab Lauh Mahfuz. Jauh, jauh   sebelum engkau diciptakan. Segala ketentuannya tak dapat dirubah.   Namun, engkau adalah manusia yang menjalankan dengan berbagai pilihan.   Dan engkau akan dimudahkan pada setiap takdir yang telah ditentukan.   Dari pengenalanmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau mengetahui,   bahwa rezeki, kehidupan yang baik dan buruk, seluruhnya telah   ditentukan. Maka, berdoalah! Dan bersabarlah! Serta bersyukurlah dengan   keadaanmu sekarang.
…Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan   kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala   akhirat, Kami berikan kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Al Imraan [3]: 145)
Engkau tidak dapat mengejar tujuan hidup berupa kekayaan. Dan engkau   -seharusnya- tidak menanggalkan pakaian ketakwaan. Kekayaan telah   ditentukan. Nikmat Islam telah diberikan. Keadaan yang diberikan   kepadamu sekarang, insya Allah adalah lebih baik dari yang lain atau   yang sebelumnya. Jika engkau masih memikirkan, antara keinginan yang   kuat untuk tetap bertahan dalam ketaatan menjalankan syari’at, maka   bersyukurlah! Karena itu adalah keadaan yang lebih baik untuk dirimu.   Bandingkanlah dengan keadaan mereka yang tidak perlu bersusah payah   mempertimbangkan itu semua. Dan dengan mudahnya mereka jatuh dalam   gelimang dosa. Dan salah satu cara untuk mewujudkan rasa syukurmu   adalah dengan lebih menjalankan ketaatan kepada-Nya. Perhatikanlah   firman Allah ta’ala kepada orang-orang yang telah diberikan nikmat.
…Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al A’raaf [7]: 69)
Nikmat yang engkau rasakan dalam menjalankan ketaatan dalam agama   Islam adalah jauh lebih baik dari dunia dan segala isinya. Tidak semua   orang Islam dapat merasakan ini. Karena terdapat dua nikmat dalam   Islam. Nikmat karena telah beragama Islam (ni’mat lil islam) dan nikmat dalam Islam itu sendiri (ni’mat fil islam).   Tidak semua orang Islam mendapatkan nikmat untuk menjalankan  ketundukan  pada syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa  Ta’ala dan  telah dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya! Baiklah! Masih berkutat di pikiranmu. Bagaimana dengan kebutuhan hidupku?! Bagaimana dengan balas jasaku? Allahumma…  semoga Allah memudahkan jalanmu saudariku. Tidakkah engkau ingat bahwa   masing-masing telah ditentukan rezekinya. Bahkan sampai binatang yang   cacat sekalipun, yang ia tidak dapat mencari makanan sendiri atau   mangsa sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji pada hamba-hamba-Nya   lewat firman-Nya (dan sungguh janji Allah Ta’ala adalah benar adanya)
…Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan   mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang   tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah   niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah   melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah   mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaq [65]: 2)
Dan ayat ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa  sallam  ketika memberikan jalan bagi seorang muslim dalam menghadapi  kehidupan  di dunia dimana seorang makhluk memiliki berbagai kebutuhan,
Sekiranya kalian bertawwakal kepada Allah secara benar maka Dia   akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada   burung. Mereka berangkat pada waktu pagi dalam keadaan sangat lapar dan   pulang dalam keadaan sangat kenyang. (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi,  Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Hakim. Tirmidzi berkata, hadist ini  hasan shohih)
Saudariku… burung tersebut tentu tidak memastikan bahwa setiap   bulannya harus mendapatkan makanan sekian dan sekian. Namun ia berusaha   untuk mendapatkan apa yang dia butuhkan dan mendapatkan rezeki dari   Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bersyukur adalah yang lebih layak engkau   lakukan dan dengan demikian maka akan terwujud sikap qona’ah dalam hatimu.
Syaitan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu   berbuat kejahatan, sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya   dan karunia. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengatahui. (Al-Baqoroh [2]:  268)
Lalu, bagaimana dengan balas jasaku? Maka dengan menjalankan   keta’atan kepada Allah, engkau memberikan balasan yang insya Allah jauh   lebih besar manfaatnya untuk mereka di akherat nanti. Mengapa?   Perhatikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini  (yang secara makna artinya) “Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam hal kemaksiatan pada Allah.”
Dan dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia menanggung   dosanya dan juga menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya, hal itu   tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka. (HR. Muslim)
Maka jika engkau mengikuti mereka dalam sebuah hal yang dapat   menjerumuskanmu dalam kemaksiatan, maka ketahuilah saudariku, engkau   juga telah memberikan dosa-dosa yang semisal kepada mereka. Wal’iyyadzubillah.   Dan berpuluh-puluh juta yang telah mereka korbankan untukmu agar  engkau  pada akhirnya menjalankan sebuah kemaksiatan tidak akan memberi  manfaat  sedikitpun di akherat nanti dan justru yang terjadi adalah  sebaliknya,  mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal  perbuatannya.  Maka, janganlah ukur segala sesuatu dengan materi  keduniaan. Karena ada  kehidupan yang jauh lebih patut untuk dipikirkan  dan dipersiapkan.
Pesan terakhir yang paling baik adalah kalimat dari manusia terbaik yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari  Abu Sa’id Al-Khudry rodhiallahu’anhu, dia berkata. ‘Aku  memasuki tempat  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau  sedang demam. Lalu  kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku  merasakan panas di  tanganku di atas selimut. Lalu aku berkata. ‘Wahai  Rasulullah, alangkah  kerasnya sakit ini pada dirimu’. Beliau berkata:  ‘Begitulah kami (para  nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala  juga ditingkatkan bagi  kami’. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, siapakah  orang yang paling  berat cobaannya ? Beliau menjawab: ‘Para nabi. Aku  bertanya. ‘Wahai  Rasulullah, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: ‘Kemudian   orang-orang shalih. Sungguh salah seorang di antara mereka diuji  dengan  kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak   mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, sungguh   salah seorang diantara mereka merasa senang karena cobaan, sebagaimana   salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan.’ (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, di shahihkan Adz-Dzahaby)
Jangan menyerah saudariku!
Rezeki yang kau butuhkan,
tidak hanya bertumpuk pada hiruk pikuk perkantoran.
Tidak hanya terkumpul pada tempat yang memudahkanmu menjalankan kemaksiatan.
Balas jasamu tidak sekedar materi keduniaan.
Sebuah do’a dan amal sholeh lebih dapat menghindarkan mereka dari kehinaan.
Insya Allah.
Semoga Allah memudahkanmu dalam ketaatan.
Dan memberikan yang lebih baik, yaitu manisnya iman.
Sebuah nasihat bagi diriku dan ukhtifillah…
***
Sumber: www.muslimah.or.id

Tidak ada komentar:
Posting Komentar